Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang berarti
"memperhatikan" secara seksama atau "menyimak". Bandungan
(bandongan atau wetonan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan
pesantren. Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar
menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandungan (halaqoh) untuk mengajarkan
mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap
hari (kecuali hari Jumat), dari pagi buta setelah shalat shubuh sampai larut
malam.
Pengajian pesantren sistem bandongan / wetonan adalah
sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren
salaf di mana kyai atau ustadz membacakan kitab, menerjemah dan menerangkan.
Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang
disampaikan oleh kyai. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah
yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.
Pada kebanyakan pesantren salafi (tradisional),
metode klasik kegiatan belajar mengajarnya terdiri dari dua bentuk, yakni 1) Sorogan,
dan 2) Bandungan (Sunda; di Jawa dikenal dengan istilah bandongan atau
wetonan). Sistem sorogan disebut pula dengan sistem individual (individual
learning). Sedangkan, sistem bandungan (bandongan atau wetonan) disebut
pula dengan sistem kolektif (collectival Learning atau together
learning).
Sistem Sorogan
Sistem sorogan
adal sistem membaca kitab secara individul, atau seorang murid nyorog (menghadap
guru sendiri-sendiri) untuk dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian
dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang
kali. Pada prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan
kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya
(misalnya: Sunda atau Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkannya
kata demi kata (word by word) sepersis mungkin seperti apa yang
diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa agar murid
mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat
Arab.
Dengan cara sistem sorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar
secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sorogan memungkinkan sang
kiai dapat membimbing,mengawasi, menilai kemampuan murid. Ini sangat efektif
guna mendorong peningkatan kualitas murid. Dari segi ilmu pendidikan modern,
metode ini disebut metode independent learning, karena, antara santri
dan kiai saling mengenal erat, kyai menguasai benar materi yang harusdiajarkan,
dan murid akan belajar dan membuat persiapan sebelumnya, antara kyai dan santri
dapat berdialog secara langsung mengenai materi.
Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah
menguasai pembacaan Qurán. Dalam sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai
cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan
pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem
sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari sistemkeseluruhan
pengajaran pesantren, karena di sana menuntut kesabaran kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Murid seharusnya sudah paham
tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di
pesantren. Sistem sorogan juga digunakan di ponpes tetapi biasanya hanya untuk
santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Di sini banyak murid yang tdk
menyadari bhw sebenarnya mrk hrs mematangkan diri dalam metode tsb sebelum
dapat mengikuti sistem lainnya. Sebab pada dasarnya murid yang telah menguasai
sistem sorogan inilah yang dapat memetik manfaat keilmuan dari sistem bandongan
di pesantren.
Sistem Bandungan
Bandungan
berasal dari kata ngabandungan yang berarti
"memperhatikan" secara seksama atau "menyimak". Bandungan
(bandongan atau wetonan merupakan metode utama sistem pengajaran di
lingkungan pesantren. Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar
menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandungan (halaqoh) untuk
mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi, yang
diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jumat), dari pagi buta setelah shalat
shubuh sampai larut malam.
Sistem bandungan adalah sistem transfer keilmuan atau proses belajar
mengajar yang ada di pesantren salaf di mana kyai atau ustadz membacakan kitab,
menerjemah dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak
dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai. Dalam sistem ini, sekelompok murid
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan
buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini
disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan
seorang guru. Penyelenggaraan kelas bandungan dapat pula dimungkinkan oleh
suatu sistem yang berkembang di pesantren di mana kyai seringkali memerintahkan
santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang
mengajar ini mendapat titel ustad (guru).
Sistem bandungan
(bandongan atau wetonan) dibangun di atas filosofis, bahwa 1) pendidikan yang
dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak
dibandingkan secara individual, 2) pendidikan pesantren merupakan upaya
menyerap ilmu dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya "pasif"
(diam dan mendengar) adl sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah
pengetahuan tersebut. 3) pertanyaan, penambahan, dan kritik dari sang murid
pada kyai merupakan hal yang tidak biasa atau tabu, agar tidak dianggap sebagai
tindakan su' al-adab (berakhlak yang tidak baik). Dlm sistem ini
sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang Guru/Kiai yang
membaca,
menerjemahkan,menerangkan dan seringkali mengulas
buku-buku Islam dalam bahasaArab. Setiap murid memperhatikan buku/ kitabnya
sendiri dan membuatcatatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang
kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan
ini disebuthalaqah yang artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang
belajar di bawah bimbingan seorang guru. Metode pengajaran bandungan ini
adalah metode bebas, sebab tidak ada absensi santri, dan tidak ada pula sistem
kenaikan kelas. Santri yang sudah menamatkan sebuah kitab boleh langsung
menyambung ke kitab lain yang lebih tinggi dan lebih besar.
Ada dua macam bentuk
materi kitab kuning, yaitu (1) Bentuk nadzm, yang ditulis dalam ritme
syair (2) Bentuk essai (natsr) uraian-uraian masalah. Bentuk yang kedua
sering merupakan komentar terhadap matn (original text), baik
yang berupa essai (natsr) maupun nadzm, seperti kitab syarh
(commentaries) Ibnu 'Aqil terhadap Alfiah, oleh Ibnu Malik, atau
berupa essai yang diikuti oleh syawahid (bukti-bukti teoritis) yang
ditulis dalam bentuk nadzm, atau tanpa keduanya. Dalam mengajarkan kitab
yang di dalamnya ada nadzm, baik yang berfungsi sebagai matn ataupun
syawahid, Kiai ataupun Guru menyuruh santri menghafalkan nadzm-nadzm
yang ada, kemudian melafalkan tanpa membaca bersama-sama dengan lagu sesuai
dengan bahr (aturan nada dan ritme syair Arab) yang ada setiap kali
pengajian akan dilanjutkan.
Sistem Musyawarah atau Munadzarah
Pada beberapa pesantren salafiyah yang besar berkembang pula sistem musyawarah
atau munadzarah. Para asatidz (guru-guru) ini dapat dikelompokkan
ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan yang senior, mereka menjadi anggota
kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matang dengan mengajarkan
kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kiai muda. Dalam kelas musyawarah
sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Di sini para
santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kiai memimpin
sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar dan terkadang lebih banyak
dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam
wacana kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk
menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab
Islam klasik.