Jumat, 13 Maret 2015

seni mengolah rasa


sebagaimana rasanya gula itu manis, dan cabe rasanya pedas. RASAKANLAH
status sosial adalah momok yang sangat mengejutkan manusia, kinerja penuh aturan adalah salah satu belenggu membinasakan diri, kedua alasan tersebut mungkin cukup untuk dijadikan alasan kenapa individu sibuk dan selalu membingungkan jati dirinya. `rasa` mestinya dapat memanipulasi kepenatan hidup, dan membuat kebahagiaan terhadap melakukan aktivitas
seni sebagai daya kreatifitas diri untuk membuat potensi --rasa-- yang dimiliki menjadi lebih lumrah untuk dimiliki, lebih jelasnya `ga ada lagi kejenuhan, kebosanan interaksi, dan pemahaman diri tanpa banyak tuntutan untuk menjadi diri yang lebih`. seni memanifestasikan manusia lebih bisa mengelola secara sadar apa yang dia harapkan, apa tujuan, dan tahu apa yang mesti dilakukan untuk keceriaan sementara, tanpa tedeng aling-aling atau tembok raksasa yang menghalangi.

tembok sering diartikan hanya pelarian si penat pada kepuasan spiritnya, si penat ingin hidup dengan pengawasan `tentara kebaikan` dan memusuhi `maling kebejatan`. padahal harus dipahami (memakai alur berpikir terbalik), bahwa bisa saja suatu waktu tembok yang mereka buat --secara sadar atau dogmatis-- tersebut beralih fungsi manjdi berkawan dengan syaitan dan memusuhi malaikat, karena manusia adalah individu yang bergerak dengan taming naluriah dan jiwa. hal ini harus disadari terlebih dahulu dan dipatok sebagai modal menusia untuk dapat melompat riang melewati rintangan dengan daya kreatifitas seni tentunya.
sungguh.. manusia awal mula diciptakan dalam kesusahan, tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan penuh dengan kepenatan, dan`penat` tidak menghiraukan manusia secara status ekonomi, sosial bahkan dalam lingkup Agama. hanya daya keilmuan saja yang dapat meminimalisir --bukan menghilangkan-- kepenatan yang setiap waktu mengintai. `i had my self and i want to die` sebuah ungkapan bagaimana manusia tidak sanggup menghadapi kepenetan hidupnya.
dari sekian banyak dialektika manusia, mayoritas manusia sadar secara naluriah bahwa pelarian harus dilakukan, hal ini yang kemudian menggugah otak menusia untuk menentukan tembok-tembok kehidupanya. ada sebuah kelumrahan pelarian yang sering manusia pakai sebagai yaitu pelarian pada yang lebih tua, pada hal yang lebih agung, entah itu berbentuk insan yang ditugaskan sebagai orang tua, guru, bahkan Tuhan. namun tidak menuntut kemungkinan manusia juga berlari pada hal-hal yang rendah dan menjijikan.
berlarilah!
tentukan obyek pelarianmu
dan terjanglah tembok-tembok penghalang
lantas tersenyumlah bermesraan dengan objekMU
buat semua iri melihatmu, dan jangan segan-segan mengaplikasikanya
karena naluri Manusia bisa memilih
good luck!

0 komentar:

Posting Komentar