Jumat, 13 Maret 2015

global warming


Efek rumah kaca, lelehnya lautan es antartika, dan terbakarnya hutan terjadi secara alamiah, namun pengeksposan tragedi tersebut sangat kental dengan muatan politik. manusia telah terlalu sibuk memikirkanya, namun juga membuat tertawa sebagian orang –birokrat– dengan keuntungan yang diperoleh dari isu global warming. lantas, bagaimana seyogyanya psikolog –yang nota bene paling mengerti tentang kejiwaan– bersikap menanggapi landingnya isu global warming yang sangat mengkhawatirkan kehidupan? berharap dunia tidak musnah adalah hal yang sangat menyakitkan, karena kemusnahan bagi kehidupan adalah senyawa yang tak mungkin bisa dipisahkan.

global warming hanya sebagian isu cobaan yang telah dirasakan atau tidak pernah dirasakan oleh segelintir manusia, karena dia masih kerepotan dengan kebutuhan-kebutuhan fisiknya. serentak orang tertawa terbahak mengelu-elukan kemenanganya meraih lelehan banjir memasuki rumah, gerombolan orang sumringah menatap anaknya lunglai tidak dapat masuk sekolah karena gempa yang dahsyat di lingkunganya, serumpun petani juga tersenyum lega melihat cabainya tidak dapat membesar seperti musim tanam sebelumnya. tangisan tersedu-sedu juga nampak di setiap lorong masyarakat negara-negara adi kuasa meratapi sahmnya meningkat di dunia perdagangan internasional, sang produsen juga menunduk lesu melihat negaranya semakin mewah dan kaya akan rumah kaca, negara-negara utara pingsan melihat negaranya bisa berdansa menindih negara-negara selatan yang masih saja makan singkong.

berbaliklah… seperti ungkapan kalimat berbaliknya rasa individu menghadapi tragedi riil kehidupan, karena si pemakan singkong tetap saja tersenyum, dan si pemilik hotel berbintang menangis tersedu karena isu rumah kaca yang mereka cetuskan sendiri. dengan lantang psikolog tidak akan pernah berpihak pada kemitraan global pimpinan negara-negara utara, karena singkong, kopi, rokok, dan tasbih telah dapat memuaskan dirinya untuk kemenangan hari esok.

0 komentar:

Posting Komentar