Kamis, 19 Mei 2011

Otak; antara Agama dan Sains


Ilmu pengetahuan berkembang sesuai dengan keberadaan manusia dan kekinian. Dalam agama Islam, kita yakin bahwa ilmu agama (Naqliyah) merupakan sumber dari ilmu pengeahuan lain, karena ilmu agama bersifat mutlak. Ilmu agama bersifat normatif tekstual dan teological klasik yang meyakini kebenaran sebagai kebenaran tuhan dan tidak perlu diragukan lagi.
         Berbeda dengan sains, merupakan imu berdasarkan fakta, logika, dan mendasarkan perkembangan kepada apa yang dilihat, diukur dan dapat dibuktikan. Sains bersifat positivis, empiris, dan rasional. Sains berpijak pada rasio manusia pada saat itu sehingga kebenaranya bersifat relatif. Baik ilmu agama maupun sains berkembang mempunyai tujuan sama, yaitu meningkatkan harkat dan martabat manusia.
           Sains dan agama memang memiliki perbedaan metodologis dan perbedaan klaim sehingga ungkapan formula serta karakter yang muncul juga berbeda. Pesan agama cenderung mengajak orang untuk return, yaitu menengok dan kembali ke belakang kepada Tuhan, sementara sains cenderung research yaitu melangkah ke depan dan menatap alam sebagai yang berada di depan dan selalu mengajak untuk dipahami. Oleh karena itu, ketika sains dilihat dan diyakini sebagai ideologi karena sebagian masyarakat merasa cukup menyelesaika problem kehidupan melalui jasa sains, maka pada saat itu sains telah berdiri sejajar sebagai rival agama. Akan tetapi jika sains dipandang sebagai fasilitator teknis dan metode penafsiran terhadap alam raya, masa sains dapat diposisikan sebagai salah satu medium dan ekspresi agama.

Tafsir 'Ilmi
Tafsir ‘ilmi ialah tafsir yang menjelaskan makna isyari (melalui petunjuk) yang mengagungkan dan membesarkan Allah s.w.t. melalui ciptaanNya. karena tafsir ilmi tidak termasuk padanya syarat-syarat tafsir al-‘aqli al-Ijtihadi. Kaedah pentafsiran tafsir ‘ilmi ini lebih kepada petunjuk melalui kajian sains dan bukannya menggunakan ijtihad melalui akal. Tafsir ilmi adalah berasaskan kepada penerangan dan penjelasan melalui isyarat daripada al-Quran sendiri yang menunjukan kehebatan ciptaan Allah swt.
Allah berfirman: “Akan Kami tunjukkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di segenap ufuk (penjuru) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas kepada mereka bahwa al-Quran itu benar”. Surah Fusshilat: ayat 53. Dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, al-Imam Ibn Katsir berkata, “(Allah) akan tunjukkan bukti-bukti serta dalil-dalil di alam ini yang menunjukkan bahwa al-Quran ini adalah benar.” Untuk menerokai dan mengeluarkan bukti serta dalil daripada alam, sains diperlukan.
Seterusnya, berhubung dengan firman Allah yang bermaksud, “Dan pada diri mereka sendiri,” Imam Ibn Katsir berkata, ”berkemungkinan yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah apa yang terdapat dalam tubuh (badan) manusia yang menakjubkan, sebagaimana yang dapat dilihat dalam ilmu tasyrih (anatomi). Kesemua ini akan menampakan kebijaksanaan Yang Maha Pencipta”. Untuk mengenali organ serta memahami sistem yang terdapat dalam tubuh manusia, seperti penciptaan embrio, fungsi organ-organ tubuh (alat pernafasan, peredaran darah, ginjal, tranplantasi cornea mata, susunan tangan, telinga, saraf, dan lain-lain) sains menempati kedudukan yang urgen untuk menjelaskanya.
Dalam Tafsir al-Azhar pula Hamka berkata, “Dalam ayat ini dinyatakan bahwa al-Qur’an ini kian lama kian nyata kebenarannya. Bukti kebenaran itu akan muncul di segenap penjuru bahkan pada diri mereka (manusia) sendiri. Mungkin beberapa perkara yang diterangkan al-Qur’an tatkala ia mula diturunkan belum dipahami tetapi kelak (ketika zaman berubah) dan otak manusia menjadi (semakin maju) akan nampaklah kebenaran itu. Sudah 14 abad al-Quran diturunkan dan semakin berkembang pengetahuan manusia tentang alam (semakin) bersinarlah rahasia kebenaran Qur’an.”
          Islam mempersilahkan kepada kecerdasan-kecerdasan manusia untuk mengembangkan sains dan teknologi, bukankah wahyu yang pertama kali diturunkan adalah isyarat yang paling nyata bahwa Islam sangat apresiatif terhadap sains?. Menurut Mahdi Ghulsyani yang dikutip Masnun Tahir bahwa dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih 750 ayat yang mempunya relevansi dengan sains dan teknologi. 1
            Seperti redaksi surat al-An’am ayat 125 ”Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk ia beri petunjuk, maka Ia lapangkan dadanya untuk masuk Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk disesatkanNya, maka dijadikanya dadanya sempit lagi sesak, seakan-akan mendaki langit”. Atmasfer bumi, semakin tinggi semakin tipis, sehingga merasa terasa semakin dingin, karena tekanan udara terhadap badan kita semakin kecil. Udara yang semakin tipis akan mengimplikasikan kadar oksigen semakin kecil, itu sebabnya di tempat yang semakin tinggi, pernapasan terasa semakin sesak.
              Respirasi atau bernapas yaitu menghirup oksigen O² dari udara, untuk mengadakan pembaaran zat-zat makanan, hasilnya adalah energi. Allah Yang Maha Pemurah menyiapka oksigen di udara dalam kuantitas yang cukup, yaitu 20%. Apabila kuantias oksigen lebih dari itu, maka akibatnya bukan hanya besi saja yang bisa berkarat, tetapi manusia dan hewanpun akan berkarat juga.2 Berkarat itu sebenarnya adalah pembakaran yang berlangsung sangat lambat. Tetapi sebaliknya jika persediaan kurang dari itu, maka pembakaran yang terjadi dalam tubuh makhluk hidup tidak akan sempurna.
              Ayat al-Qur’an tersebut menyuruh kita untuk berpikir dan menyelidiki unsur apa sebenarnya yang dibutuhkan sewaktu kita menarik nafas. Di waktu kita menghembuskan napas, kita mengeluarkan CO² (karbondioksida). Senyawa itu dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan dalam proses asimilasinya. CO² dan air dihasilkan sebagai sisa pembakaran yang penting. CO² itu sekalipun merupakan sisa, lalu dilepaskan lagi ke udara yang jelas dia tidak sia-sia, selain dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan, yaitu menjaga suhu permukaan bumi. Energi sinar matahari yang dipantulkan oleh bumi dalam bentuk sinar infra merah (sinar yang frekuensinya kecil sehingga tidak tampak) ditangkap oleh CO² sebelum dipantulkan ke udara. Maka dengan demikian, temperatur keadaan bumi tetap, seperti dalam green house. Tetapi dalam penggunaan bahan bakar minyak (BBM) semakin banyak akibatnya kadar karbondioksida semakin tinggi, dan suhu permukaan bumi akan semakin naik pula.
              Lebih lanjut tafsir ayat al-Qur’an yang sangat signifikan dengan uji sains modern adalah bahwa sel-sel tubuh manusia berasal dari zat makanan yang diperoleh dari hasil tumbuh-tumbuhan, seperti buah, umbi akar, daun, dan zat-zat hewani seperti telur, daging, susu. sel-sel hewan dan tumbuh-tumbuhan terdiri atas unsur-unsur pokok yang membangun sel tubuh manusia. Hanya perbedaanya adalah pada unsur-unsur tambahan, hewan (karnivora, herbivora, maupun omnivora) zat makananya berasal dari tanah secara tidak langsung. Diantara makhluk-makhluk organik itu hanya tumbuhanlah yang mendapat makanan dari tanah. Unsur-unsur tanah itu dalam bentuk larutan, dihisap oleh bulu-bulua akar yang sangat halus dan memiliki sifat kapiler, dengan daya kapiler terangkatlah zat-zat tersebut ke daun, semisal minyak tanah naik pada sumbu lampu.
          Peristiwa fotosintesis pada daun, tumbuh-tumbuhan menghirup karbondioksida dari udara. Berkat adanya klorofil, dan dengan bantuan sinar matahari pagi, tumbuh-tumbuhan mampu mengubah CO² dan air yang diserap dalam air tanah oleh akar menjadi glukosa dan O². Maka mengertilah kita mengapa waktu pagi itu dibuat mejadi sumpah oleh Allah dalam firmanya surat ad-Dluha ayat 1-2.
Demikianlah sains berbicara secara panjang lebar membuktikan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi yang dapat membuktikan bagi kita urgensinya sains sebagai penerang al-Qur’an. Agar supaya manusia yang dibekali akal untuk merenung tidak ragu-ragu tentang kekuasaan Allah yang tidak terbatas itu. Kita memang tidak dapat menyaksikan kejadian kita sendiri, tetapi kita bisa merenungkan kejadian itu dari penjelasan ayat-ayat Allah yang Maha Mengetahui rahasia, sebagaimana firman Allah pada surat al-Kahfi ayat 51.
Pendapat Tentang Tafsir ‘Ilmi
Ada berbagai penilaian para pakar tentang Tafsir llmi. Pertama, ada pendapat bahwa tafsir ilmi berfungsi sebagai tabyin, yakni menjelaskan teks al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki sang mufassir. Kelompok ini diwakili oleh al-Zahabi dan Abu Hamid Al-Ghazali (w 1111 M).
Kedua, ada yang cenderung melihat fungsinya sebagai i'jaz al-Qur'an, pembuktian atas kebenaran teks al-Qur’an dalam pandangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat memberikan stimulan bagi umat Islam, khususnya para ilmuwan dalam meneliti (investigasi) ilmu pengetahuan lewat teks al-Quran, Kelompok ini diwakili oleh Imam al-Suyuthi dan Muhammad bin Ahmad Al-lskandaran.
Ketiga, berkeinginan menjadikan penafsiran ini sebagai istikhraj al-'ilm, yaitu teks atau ayat-ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern. Kelompok terakhir ini diwakili oleh Muhammad Al- lyazi (1333 H) dan Abu Al-Fadl al-Mursi.
Ulama-ulama telah membahas tentang tafsir ini secara mendalam, secara umum, hukum berkenaan tafsir ini terbagi kepada dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang membenarkan, sementara itu kelompok kedua melarang penggunaan tafsir ‘ilmi ini di dalam mentafsirkan al-Qur’an.
1) Kelompok ulama’ yang melarang
Mereka berpendapat tafsir ‘ilmi ini dilarang dalam pentafsiran al-Quran karena beberapa alasan dan hujjah. Antaranya, dakwah al-Quran supaya melihat kepada alam dan sains adalah dakwah secara umum yaitu supaya berpikir dan mengambil pengajaran, bukanlah sebaliknya dakwah kepada perincian dan ilmu-ilmu. Mereka berpendapat tidak perlulah mengambil perincian dari sains karena dakwah al-Quran hanyalah untuk mengambil ikhtibar, nasihat dan pengajaran daripada keagungan ciptaanNya. Oleh itu, tidak perlulah menggunakan sains sebagai sumber dalam mentafsirkan al-Qur’an.
Selain itu, mereka juga berpandangan yang mukjizat al-Quran adalah tetap, sedangkan sains sentiasa berubah-ubah mengikuti keadaan, masa dan pengkaji. Kajian sains kadangkala berubah-ubah dari suatu zaman ke zaman yang lain, manakala mukjizat al-Qur’an adalah tetap sama ada zaman berubah ataupun tidak. Sifat sains yang beginilah menyebabkannya tidak dibenarkan dalam mentafsirkan al-Quran. Inilah hujjah yang dikemukakan oleh kelompok yang tidak setuju dengan tafsir ‘ilmi.
2) Kelompok ulama’ yang membenarkan
Antara ulama’-ulama’ yang membenarkan tafsir ‘ilmi ini digunakan dalam pentafsiran al-Qur’an ialah al-Imam al-Ghazali, al-Imam al-Suyuti, al-Imam al-Fakhrul Razi dan Muhammad Abdul Azim al-Zarqani. Mereka mengemukakan beberapa hujah, antaranya: Firman Allah s.w.t: “Maka tidakkah mereka memerhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunkan dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikit pun?”. Surah Qaf: ayat 6.
Dalam ayat ini jelas menunjukkan yang Allah s.w.t. menggalakkan supaya mengkaji bagaimana langit dibangun dan tiada cara untuk mengetahui bagaimana langit dibangun melainkan dengan kajian sains. Oleh itu, sains diperlukan dalam mendetailkan ayat tersebut dari sudut sains. Selain itu, tafsir ‘ilmi ini juga adalah salah satu cara baru dalam menunjukkan mukjizat al-Quran yang telah sedia ada. Beberapa sarjana Islam yang terkenal kini dalam membahasnya, melalui beberapa ciri dakwah beliau di seluruh dunia, dapat dibuktikan kebenaran al-Qur’an dengan ramainya orang-orang kafir yang memeluk agama Islam karena jelas kepada mereka mukjizat al-Qur’an melalui kajian sains tersebut. Ini menunjukkan tentang keharusan menggunakan sains sebagai tafsiran bagi ayat-ayat kauniyah (sains dan penciptaan).
Seterusnya, keharusan dalam menggunakan tafsir ‘ilmi ini dalam pentafsiran al-Qur’an juga karena Allah s.w.t. sendiri telah meletakkan dalam kitabNya tentang sains, kekuasaan, hikmah kejadian langit dan bumi, malam dan siang, matahari, bulan dan bintang. Perkara-perkara ini disebutkan banyak tempat dalam al-Qur’an. 
 
Aspek Positif Dan Negatif Tafsir Ilmi
Kecenderungan semakin menguatnya agama dan sains banyak menarik perhatian dari banyak kalangan, terutama berkenaan dengan hubungan antara keduanya. Banyaknya pandangan dan doktrin agama yang tampak bertentangan dengan teroi sains modern memungkinkan terjadinya ‘konflik’ antara agama dan sains. Kita tentunya masih ingat dengan kasus eksekusi gereja terhadap Galileo pada abad 19 dan perdebatan panjang antara pendukung teori evolusi dan teori penciptaan (Charles Robert Darwin, Dr. Frans Dahker)3 menjadi bukti nyata betapa konflik yang saling menegasikan telah mewarnai hubungan hubungan agama dan sains.
            Keberhasilan gilang gemilang sains di berbagai aspek kehidupan manusia, terutama sejak zaman renaisans, bagi agama sekurang-kurangnya menimbulkan tanggapan yang ambigu; harapan baru dan juga kekhawatiran baru. Agama mungkin bisa mengharapkan sains membersihkan unsur-unsur takhayyul atau mitos yang menyusup –disadari atau tidak—ke dalam ajaran-ajaranya. Tetapi agama juga khawatir kalau-kalu sains akan meninggalkanya atau malah meniadakanya. Meskipun harapan ini tampaknya tidak sepenuhnya terpenuhi, kecemasanpun untungnya tidak terlalu mengkhawatirkan.
             Pada realitasnya agama menjalin hubungan dengan sains dalam pola yang tidak sederhana. Ada spektrum luas dalam pandangan tentang relasi agama-sains. Dalam wacana kontemporer terdapat empat teori yang diangkat ke panggung perdebatan; konflik, kontras (independen), kontak (dialog), dan konfirmasi (integrasi) 4
             Teori konflik memandang agama dan sains secara instrinsik berlawanan. Keduanya bertarung untuk saling menyalahkan, bahkan saling meniadakan, dan karena itu tidak mungkin bisa dipertemukan. Seseorang tidak bisa secara bersamaan mendukung teori sains dan keyakinan agama. Agama tidak dapat membuktikan kepercayaan dan pandanganya secara jelas (straight forward), sementara sains bisa. Sementara itu kaum agamawan berpendapat sebaliknya, baginya sains tidak mempunyai otoritas untuk menjelaskan segala hal yang ada di muka bumi. Rasio yang dimiliki oleh manusia sebagai satu-satunya instrumen sains sangatlah terbatas dan dibatasi, maka untuk menjelaskan segala fenomena dan misteri dunia hanya bisa dipaparkan leh agama. Model konfrontasi ini dalam pandangan Babour diwakili oleh Biblical Literalism dan kelompok scientific materialism. 5
            Teori kontras (independent), memandang agama dan sains memiliki persoalan, wilayah kerja, metode otonom, terpisah dan abash. Meskipun tidak perlu bertemu (contact), keduanya harus saling menghormati integritas masing-masing. Model pemisahan ini disamping didasari oleh keinginan untuk menghindari konflik antara agama dan sians, adalah juga sebagai konsekuensi dari munculnya ilmu pengetahuan baru (new knowledge) seperti penjelasan biologis aau organisme organ.
Alih-alih menghindari pertemuan, kubu kontak atau dialog menyarankan saling bertukar pandangan dengan sains utnuk memperkaya perspektif tentang realitas. Akan tetapi keduanya tidak mesti bermufakat apalagi meleburkan diri. Berbeda dengan model independent yang mengedapnkan perbedaan, model dialog ini justru mencari titik persamaan antara sains dan agama. Kesamaan antara sains dan agama menurut Barbour bisa terjadi pada kesamaan metodologis dan konsep6 Secara metodologis kebenaran sains tidak selamanya obyekti sebagaimana agama tidak selamanya subyektif. Sementara secara konseptual keduanya menemukan muara persamaan, misalnya pada teori komunikasi informasi (communication of information).
  Bergerak dari itu, kubu konfirmasi atau imtegrasi menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan, terutama dalam berbagai pandangan tentang anggapan dasar tentang realitas tanpa harus kehilangan dentitas masing-masing. Model ini adalah paling odeal antara keduanya. Pada model ini posisi sains, dalam bahasa Hauget adalah untuk memberikan konfirmasi baik yang memperkuat atau mendukung keakinan tentang tuhan sebagai pencipta alam semesta. 7
Secara sepintas, unifikasi dan konfirmasi anatara sains modern dengan dogma agama-agama nampaknya tidak mugkin dilakukan mengingat kedua domain tersebut berbeda secara diametral. Dari sudut pandang ontologism, sains memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat empiris, kalkulatif, dan verifikatif. Sementara itu agama memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisis, intuitif, spekulatif. Mempertemukan dua sudut pandang dalam suatu kajian ilmiah berarti sekaligus memposisikan realitas konkret dan abstrak pada satu wilayah yang sama.
Sementara dalam sudut pandang epistemologis, konvergensi antara sains dan agama juga memliki kendala yang cukup besar. Paradigma sains yang berdifat positivistic, empiris, dan rasional entu saja tidak sesuai degan paradigma agama yang bersifat spiritual, metafisis, dan moral. Meskipun berbeda paradigma, namun sebagian kalangan ada yang menilai bahwa doktrin agama yang bersumber dari wahyu jauh lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal dan rasio manusia.
Asumsi ini kemudian memberikan kekuatan-kekuatan bagi agama untuk selalu mengontrol pencapaian-pencapaian dalam bidang sains dan teknologi. Penemuan-penemuan sains dan teknologi yang dianggap bertentangan dengan doktrin agama harus dihentikan agar tidak merusak nilai-nilai kesakralan agama yang benar secara taken for granted.
Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembaliperadaban Islam seara jujur lahir dari bentuk romantisiseme terhadap sejarah masa lampau. Walau bagitu, keinginan itu meruapaka sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban seluruh Muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun sebuah sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradabanIslam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi institusionaldan epistemologis menuju pada proses dekontruksi epistemolgis sains modern yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agamadan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan gagasan Islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Syed Farid al-Attas atau ismail Raji al-Faruqi.
Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains modern? Bukankah sains modern telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains modern membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap sains modern adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat modern yang cacat, secara historispun kita bisa memhami bagaimana sains modernlahir sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme.
Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains modern sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisi seperti ini Islam semetinya dapat menjadi suatu alternatif dalam menembangkan sains ke arah yang lebih bijak.
Walau begitu, Islamisasi pengetahuan adalah sebuah prpoyek ambisius –untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek Islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains modern yang mengklaim dirinya sebagai ‘bebas nilai’ sehingga bersifat netral dan universal. Klaim ‘netral’ dan ‘universal’ sains modern itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains modern dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara ‘universalitas’ tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains modern terhadap sistem pengatahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains modern yang dilakukan bebrapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkanya selalu bersifat kultural, terkontruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi-politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis Muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang Islami.
            Usaha pertemuan dengan tafsir ilmi tidak terhenti pada tataran wacana tetapi ditindaklanjuti pada tataran implementatif. Maraknya tawaran integratif –interkoneksitas—dalam berbagai studi sains dan agama di PTAI merupakan bukti dari usaha ‘penjodohan’ sains dan agama, dengan tidak mengkerdilkan metode tafsir ilmi tentunya, untuk menciptakan interaksi yang bermanfaat antara berbagai penemuan besar dari ilmu alam (sains) dan kearifan yang luhur dari agama Islam.
Hanya saja kami sayangkan, bahwa umat Islam telah didahului beberapa langkah oleh orang-orang non Islam untuk berpikir dan mengadakan observasi dalam tafsir Ilmi, padahal al-Qur’an sejak 14 abad silam dengan eksplisit memberikan koreksi total tentang realitas kehidupan. Mungkin sesuai dengan tanda-tanda Allah –hanya terkaan saja-- pada Surat al-Anbiya’ ayat 30 menunjuk orang kafir untuk lebih memahami atau ‘serius’ dalam penelitian sains, karena dlomir pada ayat tersebut memakai ‘alladzina kafaru’, bukan ‘alldzina amanu’. Wallahu A’lam.
Kajian sains sekarang ini pada hakikatnya membuktikan bahwa al-Qur’an sedikitpun tidak pernah meleset menceritakan sesuatu yang pernah terjadi dan meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Mungkin itu juga kita seyogyanya mengambil ikhtibar pada wahyu yang pertama kali turun iqra’ (bacalah). Maka kita dituntut untuk dapat membaca, karena Allah memberikan ilmu dengan perantara baca tulis. Karena orang yang cerdas sajalah yang dapat mengetahui segala hikmah yang terkandung dalam ajaran Islam.
Berdasar pembahasan tafsir ilmi dalam makalah ini, kami mengusulkan atau mengajak pada teman Mahasiswa Pascasarjana Institut Agama Islam Nurul Jadid (khususnya kelas B) agar mengadakan ‘kelompok kajian fokus’ pada dialektika ketimpangan kajian keilmuan, atau bahkan dikotomi ilmu pengetahuan (agama dan sains modern) yang implikasinya sangat terasa pada masa kekinian seperti:
  1. Cendekia Muslim terlalu berlarut-larut mengkaji hukum Syar’i dan Ta’abbudiy, semisal fiqh, implementasinya terjadi kejumudan, bahkan sikap menjauhi kajian agama akibat tidak adanya ‘sikap terbuka’ pada sains (alam dan sosial)
  2. Makin terbukanya bagi peneliti orientalis mengkerdilkan cendekiawan agama Islam (al-Qur’an), dan semakin terkulainya muslimin menangkis seranganya.
  3. Hilangnya sikap ‘cinta ilmu’ akibat banyak tipuan yang membuat kita tertuju pada kegamangan pembahasan, bahkan terobsesi pada wacana keilmuan yang tidak jelas (agama ‘emoh’, sains ‘ogah’) sehingga muncul audiom ”cerdas ataupun tidak cerdas nantinya kita tetap M.Pd.I (Master Pendidikan Iseng)”. Dan makin lalai pada kajian kitab agamanya (al-Qur’an dan al-Hadist)
Mungkin kini saatnya tentukan sikap cerdas yang menguatkan kita sebagai cendekia yang mengimani bahwa Al-Qur’an adalah ‘hudan’ bagi kehidupan. Punten....


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Supatmo. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1996
Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama. terj. E.R Muhammad. Bandung: Mizan. 2004
____, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama. terj. Fransiskus Borgias M. Bandung: Mizan. 2005
Departemen Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahan. Surabaya, Mahkota, 1990
Hought, John F. Perjumpaan Sains dan Agama. terj. Fransiskus Borgias M. Bandung: Mizan. 2005
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Beirut: Dar al-Fikr. 1999
Kindi, al-Risalah Tentang Akal. Dalam Nurcholis Madjid (ed.) Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
M. Thayyib, Lalu Ibrahim. Keajaiban Sains Islam. Yogyakarta; Pinus. 2010
Min Rosmini, dkk. Ilmu Alamiah Dasar. Semarang: IKIP. 1989
Mursi, A. H. SDM Yang Produktif berdasarkan pendekatan Al-Qur’an dan Sains. Jakarta; Gema Insani Press. 1997.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. 13, 1996 M.
____. Wawasan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1996 M.
1 Lalu Ibrahim. Keajaiban Sains Islam. 2009. hal. 12
2 Min Rosmini, dkk. Ilmu Alamiah Dasar. hal. 73
3 Darwin menyebutkan bahwa manusia adalah merupakan hasil seleksi alam berasal dari kera, namun kemudian pendapat Darwin ini tersangkal dengan temuan-temuan sains selanjutnya mengenai jumlah kromosom, perbandingan berat otak, jenis bulu dan ekor). Sedangakan Dr. Frans Dahler mengatakan bahwa Adam dan Hawa bukanlah manusia historis, bukan manusia dengan tubuh dan jiwa yang pernah hidup pada zaman dahulu kala, melainkan hanya manusia kiasan, manusia simbolis yang diciptakan oleh pengarang kitab suci untuk menggambarkan manusia secara keseluruhan.
4 Antaran akademis MasnunTahir dalam Lalu Ibrahim. Keajaiban Sains Islam. 2009
5 Biblical literalism berkeyakinan bahwa kitab subci berlaku universal, valid, final, dan memberikan data kebenaran yang tak terbantahkan. Sedangkan scientific materialism berpendapat bahwa metode ilmiah adalah sat-satunya cara yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan
6 Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama. 2004. hal. 137
7 Hought, John F. Perjumpaan Sains dan Agama. 2005. hal. 145
Selengkapnya baca di SMA Nurul Jadid

0 komentar:

Posting Komentar