Selasa, 24 Mei 2011

PENDIDIKAN KARAKTER: Menyeimbangkan Ide dan Tindakan


Gagasan Kementerian Pendidikan nasional menuju pendidikan berkarakter merupakan sebuah pencerahan, tentunya dengan harapan para pegiat Pendidikan, pemilik kepentingan (steakholder) dan warga dapat meningkatkan peran Pendidikan dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkeadaban, bukan berkeadaan.
Perlu kita refleksikan kembali bahwa Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), intelektual, dan psikomotorik siswa. Bagian-bagian itu tidak dapat dipisahkan agar berfungsi mengembangkan pengetahuan, watak, dan peradaban yang bermartabat.
Beragam dialektika kemasyarakatan kini mulai kehilangan ide filosofis pendidikan, Ide sarat makna yang seharusnya tercermin pada tindakan praktis, namun hanya berwujud pada tataran pemahaman yang abstrak.
Tawuran antar sekolah, video mesum siswa, narkoba, seks pra nikah, dan bom buku merupakan cermin gagalnya penyampaian pesan mulia dalam pendidikan. Implementasi tindakan yang menyimpang tersebut menyebabkan ide filosofis pendidikan menjadi tidak ada arti, selanjutnya jika gagal menyampaikan pada tataran ‘ide’, maka ‘praktik atau tindakan’ tidak akan dapat membawa pesan, bahkan hanya akan menjadi formalitas.
Ketimpangan antara ide dan tindakan merupakan salah satu kegagalan dalam dunia Pendidikan, hal tersebut dapat diakibatkan karena ide yang tidak kompleks (diluar masalah keseharian siswa), atau karena gagalnya pendidikan menyampaikan ide tersebut, tentunya masih perlu analisa lebih lanjut. Tegasnya untuk menyeimbangkan ide dan tindakan dalam Pendidikan diperlukan adanya pengukuhan kembali ide dasar filosofis Pendidikan.
Pendidikan dewasa ini lebih banyak menekan pada kebendaan dan seakan lupa pada kebutuhan dasar yang lebih penting –untuk tidak menyebut spirit.. Begitu gencarnya pendidikan mensosialisasikan makan makananan penuh gizi, bahkan ditambah dengan minum suplemen kebugaran, namun disisi lain peserta didik tidak memiliki spirit untuk melakukan olah raga yang menjadi kebutuhan dasar tubuh. Akhirnya peserta didik lebih memanjakan tubuh dengan kendaraan bermotor dari pada jalan kaki, beranggapan bahwa olah raga selalu mahal (futsal, basket, dll), padahal dengan jelas pendidikan mengajarkan pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan dari emisi gas karbondioksida,sejak dinipun diajarkan bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula.
Tindakan semacam ini adalah tindakan yang tidak dilandasi dengan pemahaman tentang ide pokok falsafahnya, sehingga tindakan yang semacam ini akan memunculkan ketimpangan pada mental, peran dan sistem sosial peserta didik dalam kemasyarakatan. Masalahnya jelas, karena kemapanan ide untuk hidup sehat dimanifestasikan dengan tindakan menyimpang atau bahkan jauh dari harapan ide hidup sehat. Membuang sampah pada tempatnya, menjaga lingkungan untuk tetap bersih, dan pelestarian lingkungan hanya menjadi tindakan kosong tanpa dilandasi ide karena tidak membentuk karakter peserta didik itu sendiri.
Pendidikan juga gagal menginterpretasikan konsep Ericc Form tentang being (mengadakan) dan Having (memiliki), Pendidikan lebih mengupayakan memiliki fasilitas dari pada esensi makna (fungsi) dari fasilitas tersebut, bahkan fasilitas sekolah terlihat hanya untuk ajang gagah-gagahan. Program sekolah berbasis tekhnologi (hitech class, ruangan ber-AC) saat ini rupanya tidak disesuaikan dengan banyaknya Pendidik (Guru) yang gagap tekhnologi dan kekuatan listrik yang tidak memadai, sehingga menjadikan fasilitas yang ada tidak sesuai dengan fungsinya. Apabila Pendidikan lebih mengedepankan having daripada being, akibatnya banyak akumulasi ide yang tidak tersampaikan. Masalah ini tentunya diharapkan dapat diselesaikan dengan pendidikan berkarakter, sehingga ide-ide pendidikan tentang hemat, menggunakan sesuai proporsinya dan disiplin dapat diaktualisasikan pada tindakan keseharian peserta didik.
Lebih ironis jika saya melihat kegunaan warung masakan siap saji yang semulanya mengandung ide agar kita dapat memaksimalkan waktu istirahat pada jam kerja, namun ternyata kita memanfaatkan warung tersebut sebagai tempat ongkang-ongkangan malah untuk kongkow dengan rekan kerja dan memperpanjang waktu istirahat. Hal ini membuktikan kita lebih suka meniru (plagiarisme) tindakan, tapi gagal memahami pesan yang dikandungnya. Menurut saya, orang yang paling dzalim adalah orang yang menggunakan HP blackberry hanya untuk call dan sms, dengan mengabaikan fitur-fitur canggih lain yang disediakan.
Pendidikan berkarakter membawa ide yang sangat sederhana, yaitu ‘bagaimana tindakan peserta didik dapat membawa pesan pendidikan’, tentunya ide dasar ini tidak menentang dunia kontekstual yang kita miliki. Pendidikan berkarakter menginginkan cendekia pandai dan arif, bukan mendidik individu pandai yang tidak arif. Tujuan pendidikan berkarakter selain untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan, juga menekankan pendidikan pada orientasi humanistik dan dapat menjawab tantangan kemasyarakatan.
Orientasi Humanistik mengupayakan peserta didik untuk mengembangkan daya penalaran dan mempertanggung jawabkan tindakan, pernyataan dan keyakinanya. Pendidikan humanistik akan cepat melakukan perubahan dan menjawab secara kritis  tantangan yang dihadapi. Hal ini karena pemahaman tentang ide atau pesan-pesan pendidikan ditangkap secara menyeluruh dan dipahami secara mendalam, sehingga peserta didik mewujudkan seluruh tindakanya dengan penuh percaya diri.
Sejalan dengan Daniel Goleman (EQ) pendidikan yang tidak dapat menyeimbangkan ide dan tindakan membuat peserta didik mengalami kesulitan emosional, peserta didik akan tampak kesepian, berangasan, lebih impulsif dan agresif. Karena itu, pendidikan perlu menanamkan kecakapan dasar manusiawi, seperti kesadaran diri, empati, dan kerja sama. Masalahnya bukan teletak pada ide dan emosinya, melainkan mengenai keselarasan antara ide dan tindakan mengekspresikanya.
Perspektif menjawab tantangan kemasyarakatan mengharapkan pendidikan mampu menjadi fasilitator peserta didik untuk memecahkan permasalahan kemasyarakatan yang dihadapi. Tumbuhnya minat peserta didik memahami secara kritis dialektika persoalan dalam masyarakat adalah cara mendidik untuk menyelesaikan kepentingan bersama. Pengetahuan bukan hanya untuk dikonsumsi pribadi dan demi kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan menyumbangkan ide-ide pendidikan untuk pelayanan dan perkembangan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh.
Dalam wacana pendidikan berkarakter, usaha menyeimbangkan ide dan tindakan merupakan harga mati yang harus diprioritaskan untuk mencapai pendidikan yang bermakna, tentunya tidak perlu menentang dunia kontekstual yang dimiliki, karena tujuan pendidikan karakter adalah memahami dan membuat lebih nyaman kehidupan kita. Karena perumpamaan ide (pemahaman) yang buruk bagaikan pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya sehingga tidak dapat tegak (diaktualisasikan) sedikitpun.
Memahami ide dan menyesuaikannya dengan tindakan adalah hal yang sangat sederhana, namun hal itu yang dapat tentunya hal itu dapat kita mulai dari individu masing-masing, karena kreatifitas dan maturity peradaban dunia diawali dari segelintir minoritas untuk kesejahteraan menyeluruh di masanya nanti.

0 komentar:

Posting Komentar