Selasa, 24 Mei 2011

Pelajar NU dan Perguruan Tinggi Negeri

Perguruan Tinggi sebagai lanjutan Pendidikan setelah SLTA hendaknya dapat menerima calon mahasiswa yang berprestasi akademik tinggi dan secara konsisten menunjukan prestasinya sebagai bagian dari prinsip pendidikan berkarakter. Pesantren --yang nota bene tempat pendidikan bagi warga Nahdliyin— dengan demikian juga dapat memberikan penghargaan pada Pelajar atau santri setingkat SLTA untuk melanjutkan pendidikanya ke Perguruan Tinggi.
Peningkatan   pemerataan   akses   ke   perguruan   tinggi   jenjang   pendidikan menengah   yang   terdiri   atas   lulusan SMA/SMK/MA atau   bentuk   lain yang sederajat  masih merupakan masalah di  kalangan Nahdliyin.  Banyak   lulusan   jenjang   pendidikan   menengah   yang   berprestasi   dan merupakan   calon  mahasiswa   yang   potensial   tidak   dapat  melanjutkan   ke jenjang   pendidikan   tinggi   karena   berasal   dari   keluarga   kurang  mampu.  Selain  itu peningkatan akses  informasi   terhadap Perguruan Tinggi dan sumber pendanaan masih sangat terbatas.
Akses informasi yang seluas-luasnya tentang dunia kampus sudah sepatutnya diberikan pada siswa. Karena sedikitnya warga Nahdliyin untuk mengakses informasi on line ­­yang selalu up date tentang pendaftaran dan sekilas perguruan tinggi membuat warga Nahdliyin –khususnya warga Nahdliyin di pelosok desa-- mengalami kesulitan untuk mengakses, bahkan terlambat untuk mendaftarkan dirinya sebagai calon mahasiswa.

PENDIDIKAN KARAKTER: Menyeimbangkan Ide dan Tindakan


Gagasan Kementerian Pendidikan nasional menuju pendidikan berkarakter merupakan sebuah pencerahan, tentunya dengan harapan para pegiat Pendidikan, pemilik kepentingan (steakholder) dan warga dapat meningkatkan peran Pendidikan dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang berkeadaban, bukan berkeadaan.
Perlu kita refleksikan kembali bahwa Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), intelektual, dan psikomotorik siswa. Bagian-bagian itu tidak dapat dipisahkan agar berfungsi mengembangkan pengetahuan, watak, dan peradaban yang bermartabat.
Beragam dialektika kemasyarakatan kini mulai kehilangan ide filosofis pendidikan, Ide sarat makna yang seharusnya tercermin pada tindakan praktis, namun hanya berwujud pada tataran pemahaman yang abstrak.